12 Maret 2008

UJIAN


Pagi-pagi seperti biasa, acara saya nonton TV dimulai dengan menikmati acara Mama dan Aa “curhat doong” di chanel Indosiar dengan tema curhatnya adalah “sombong?, ke laut saja”.
Secara spesial yang melekat di benak saya pagi tadi adalah ungkapan Mama Dedeh (Ustadzah Dedeh), bahwa setiap manusia akan menerima ujian dari Allah dan tinggal bagaimana cara kita menyikapi atau memaknai ujian tersebut. Ada dua macam ujian yaitu ujian yang “hasanah” dan ujian yang “syaiah”. Termasuk di dalam peristiwa ujian “syaiah” misalnya musibah sakit, usaha bangkrut, ditipu orang, kecelakaan, bencana dan sebagainya.
Kemudian Mama Dedeh berkata kalau ujian yang “hasanah” contohnya antara lain “naik pangkat dan jabatan gratis”, atau “dapat penghargaan dan pujian gratiiis”, atau “dapat istri gratiiis”, atau “dapat rumah baru gratiiis”. Semula saya tersenyum simpul sendiri saat mendengar ungkapan “dapat istri gratis”, namun setelah saya “cerdasi” sendiri, ternyata benar adanya.

Memiliki seorang istri atau suami bagi setiap hamba Allah adalah ujian, dan bisa jadi ujian yang “syaiah” atau ujian yang “hasanah” tergantung dari kenyataan yang kita hadapi di dalam rumah tangga masing-masing.
Setelah berumah tangga 32 tahun lamanya, saya baru menyadari betul, bahwa apapun keadaannya bagi setiap suami atau istri, memiliki pasangan hidup itu adalah juga ujian dari Allah SWT, agar dapat berbakti serta tetap mencintaiNya.
Banyak yang tidak memahami masalah ini, sehingga seringkali merespon ujian (terutama yang “syaiah”) dengan kemarahan, kekesalan, umpatan, keluhan, kekerasan, penghianatan bahkan dengan hujatan tidak saja kepada pasangannya, akan tetapi juga banyak yang mengalamatkan kepada Sang Pemberi Ujian yaitu Allah Swt.
Astaghfirullahaladziim, mungkin saya dan anda pernah melakukannya, karena ketidakfahaman atau keterbatasan akan adanya ujian yang diberikan Sang Maha Kasih kepada hambaNya. Namun tidak perlu berkecil hati, karena saat saya dan anda (kita) tidak lulus pada ujian yang satu, maka dihadapan kita telah disajikan ujian berikutnya, sehingga kita memperoleh peluang untuk selalu meningkatkan kualitas (Quality improvement) keimanan kita.
Dan janganlah pernah berpikir bahwa saat kita mampu menghujat setiap ujian yang datang, maka ujian berikutnya akan berhenti menghampiri kita. Kalau ujian diposisikan seperti ini, maka ujian menjadi hak dari manusia, sehingga sifat keadilan dan kesetaraan pemberian Allah, dapat dinikmati oleh setiap hamba Allah, siapapun dia, setinggi apapun jabatan atau pangkatnya, sekaya apapun harta duniawinya, dan last but not least sepandai atau secerdas apapun otak bagian kirinya (lobus sinestri cerebrum).
Oleh karena itu hendaknya kita tidak terpeleset untuk menggunggat ujian yang menjadi hak kita sendiri.
Akan lebih baik manakala mensikapi setiap ujian yang diterima, menjalaninya dengan sabar, ikhlas, tawakal, amanah dan senantiasa mensyukuri datangnya ujian tersebut.
Di dalam pengajian malam jum’at (tadi malam) pak Ustadz mengatakan bahwa sifat yang pandai mensyukuri pemberian (ujian) Allah, disebut dengan “syakiir” sedangkan sifat yang lebih dan lebih lagi mensyukuri nikmat Allah, disebut dengan “syakur”.
Identitas hamba Allah yang “syakur” dapat dilihat dari sikapnya saat menghadapi ujian Allah, misalnya mendapatkan penyakit, kemudian dari hasil evaluasi diri (self evaluation) seseorang mampu mensyukuri datangnya sakit tersebut, bukan sebagai malapetaka, akan tetapi sebagai peringatan Allah, bahwasanya Allah tetap memberikan perhatian dengan segenap cintaNya kepada kita.

Rasa syukur yang terungkap dari seorang hamba yang “syakur” tercermin secara otomaticly dari style bicaranya, isi pembicaraannya, bahkan sampai pada mision dari buah pikirannya.
Subhanallah, Maha Suci Allah.

linkblog
http://omson.blogspot.com/
http://edukasipress.wordpress.com/
http://darsanas.multiply.com/
http://padangerino.blogspot.com/

Cijantoeng tiga, saat sepi di rumah, 7 Maret 2008.
darsana setiawan

Tidak ada komentar: