17 Maret 2008

PENDIDIKAN YANG BERMUTU TINGGI BAGI ANAK BANGSA, SECARA BERKEADILAN


Saat Ibu Megawati menjabat Presiden, pernah berkunjung ke SMA Negeri 13 Jakarta, untuk melihat langsung aktivitas salah satu sekolah plus tingkat kotamadya yang berada di Jakarta Utara.
Ada salah satu statemen beliau yang sangat menarik menyangkut fenomena pemerataan pendidikan dan pendidikan yang bermutu (tinggi), dan langsung saya diskusikan dengan teman sekaligus tetangga lama saya yaitu Pak Yacob Nuwawea, yang kebetulan mendampingi Ibu Presiden Megawati dalam kunjungan tersebut. Saya berkata dengan teman lama saya “Begini pak Yacob, kalau pendidikan gratis untuk semua, itu ada beberapa permasalahan yang perlu diklarifikasi antara lain, layanan pendidikannya memang gratisan dan ini memang berbiaya murah bahkan murahan dan jangan tanya soal mutunya, naaah kalau pendidikan yang bermutu tinggi itu biayanya pasti mahal”. Beliau lalu lebih serius mendengarkan perkataan saya, dan saya juga lebih serius menjelaskannya “saya dan bapak, tentu tak akan rela menyekolahkan anak-anak kita pada sekolah yang gratisan alias murahan, apalagi dengan prinsip lebih baik sekolah gratisan (sekolah-sekolahan yang murah meriah dan tak jelas juntrungan mutunya) daripada tidak sekolah”.
Lanjut saya kemudian “semestinya kita ini berani menciptakan program pendidikan yang bermutu tinggi bagi anak bangsa, secara berkeadilan, artinya anak orang kaya silahkan bersekolah di sekolah manapun yang dianggap berkualitas dengan biaya sesuai mutu layanannya, sementara anak orang miskin juga dijamin oleh Negara (pemerintah) untuk memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi juga”. Akhir pertemuan saya dengan pak Yacob diakhiri dengan undangan beliau untuk bertandang di tempat kerjanya di Jl Gatot Subroto, untuk ngobrol atau diskusi lebih lanjut.

Sekarang pertanyaannya prinsip keadilannya terletak dimana? Jawabannya terletak pada kesetaraan dan pemerataan dalam memperoleh pendidikan yang bermakna sesuai kebutuhan peserta didik untuk survive, di setiap event kompetisi masa depannya. Kalau begitu perlu sistem subsidi pendidikan yang bermutu tinggi? Lha kan sudah bejibun (bertumpuk-tumpuk) program-program subsidi pendidikan yang diglontorka ke sekolah, seperti BIS-nya di BOMM (BIS = Bantuan Imbal Swadaya Sekolah, BOMM=Bantuan Operasional Manajemen Mutu Sekolah) dan sekarang BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Memang tidaklah adil kalau anak orang miskin di Republik ini harus menerima nasib bersekolah dengan layanan setingkat gratisan dan sekolah-sekolahan daripada tidak sekolah, karena mereka memang memiliki hak yang sama serta dilidungi oleh undang-undang agar memperoleh layanan yang setara dengan anak bangsa yang lainnya.
Pada forum Seminar Nasional Universitas Terbuka “Kontribusi Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), 10 Maret 2008 di ruang sidang 2 Kampus UT Pondok Cabe, saya menolak statemen salah satu nara sumber (Prof.Urip) yang menyatakan perlunya “Pendidikan Berkualitas Untuk Semua” karena jelas menyinggung rasa keadilan bagi si miskin. Padahal tujuan dari MDGs sendiri berpihak pada orang miskin dengan peluang pendidikannya yang lebih baik (bermutu tinggi).Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saja sampai membebaskan kredit macet dari para petani miskin, untuk memberi perimbangan rasa keadilan karena penerima kredit yang milyar dan trilyunan rupiah kasus BLBI (akan) “dibebaskan” dari tangungan “pembayarannya”.
Tadi malam saya membuka portal http://www.depdiknas.go.id dan memperoleh informasi aktivitas Bapak Presiden di bulan Februari 2008 yang lalu, menyangkut masalah pendidikan yang berkeadilan ini.
Pemerintah saat ini berkeinginan memberikan layanan pendidikan gratis, yang bermutu (tinggi) untuk masyarakat miskin, sedangkan yang kaya silahkan mencari dan memilih sendiri lembaga pendidikan sesuai dengan selera mereka. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan perhatian khusus terhadap pembangunan pendidikan di Indonesia dan mengemukakan program pendidikan 3M (mutu, murah, merata). Program 3M merupakan pembangunan pendidikan yang bermutu, murah, dan gratis bagi orang miskin. Selain itu, dikembangkan pula pendidikan yang merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat di tanah air. Hal itu diucapkan belaiu di dalam forum Rapat Evaluasi Program Prioritas Depdiknas 2007-2008 yang berlangsung tanggal 6 Februari 2008 di ruang Bhirawa Hotel Bidakara Pancoran Jakarta. Saya langsung “sumringah” (berwajah riang dan berharap positif) dengan program ini, karena anak orang miskin akan memperoleh haknya berprestasi di dalam rumah pendidikan sekolah, sesuai dengan potensi diri pemberian penciptaNYA. Tak seorangpun diantara kita yang boleh mengebiri hak azasi setiap hamba Tuhan untuk memanfaatkan peluang masa depannya, sesuai dengan esensi seluruh kecerdasan bawaannya.
Sungguh menggembirakan bilamana program ini terealisir secara nasional, mungkin melalui desain “Pajak Pendidikan yang menempel pada Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB warga”, atau Pajak penghasilan dan pendapatan lainnya.

Namun sampai sekarang, mengapa anak-anak orang miskin bahkan yang sudah tidak miskin-pun masih banyak yang belum menerima layanan pendidikan berkualitas tinggi tersebut?. Bahkan indikator Human Development Indeks (HDI) kita masih terus merangkak satu demi satu di peringkat di atas 100 pada setiap tahunnya?. Bahkan peringkat Perguruan Tinggi kita menurut Times Higher Education Suplement (THES) di tahun 2007 lalu melorot lagi, padahal dari 500 perguruan tinggi terbaik di dunia, kita hanya memiliki 3 perguruan tinggi yang masuk peringkat 250 -300 dunia (UI, UGM dan ITB), dan 1 perguruan tinggi (UNDIP) berperingkat di atas 490 dunia?.
MasyaAllah, padahal tahun 1994 saat saya menjalani bea siswa ketiga di Universitas Gadjah Mada (UGM), dosen perdanya mengatakan “berbahagialah saudara memperoleh kesempatan berkuliah di UGM yang memiliki peringkat 16 dunia”, dan saat itu ITB juga meraih peringkat 15 diantara lembaga pendidikan tinggi teknik didunia.
Ada apa di rumah pendidikan yang bernama sekolah?. Padahal otoritas mutu (yang tinggi) sudah dilimpahkan sampai ke tingkat sekolah melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) nya.
Sungguh saya tidak habis mengerti dengan lilitan benang ruwet kondisi pendidikan kita ini. Namun kita tidak boleh menyerah, karena masalah tersebut adalah bagian dari UJIAN TUHAN kepada bangsa ini untuk survive di masa datang. Benar adanya ujian adalah hak kita yang harus kita hadapi, agar kita memperoleh peluang dan kesempatan yang lebih tinggi saat selesai dan lulus ujian sebelumnya.
Karena tidak ada kata yang lebih tepat untuk menyatakannya maka saya akan mengajak untuk secara bersama memberikan kontribusi bagi penyelesaian masalah mutu pendidikan secara berkeadilan ini, sesuai dengan kapasitas proporsional diri kita, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Ya Tuhan jangan Engkau timpakan ujian, yang kami tidak mampu memikulnya”.
Namun yakinlah bahwa kita dapat berbuat adil kepada sesama hamba Tuhan yang lain, paling tidak dalam memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu tinggi, terutama kepada mereka yang miskin, karena yang kaya bisa mencari sendiri dengan fasilitas Negara yang mereka terima sehingga mereka menjadi kaya. Itulah esensi berkeadilan dalam pendidikan yang harus kita jalankan.

Darsana Setiawan
Cijantung senin pagi, 17 Maret 2008

Tidak ada komentar: