28 April 2008

YUUUK STUDI BANDING ke ;

Sekolah berkualitas Global
di Desa Kecil Kalibening Salatiga

FINA Af’idatussofa (14) bukan siswa sekolah internasional
dan bukan anak orang berada. Ia lahir sebagai anak petani di Desa
Kalibening, tiga kilometer perjalanan arah selatan dari kota Salatiga
menuju Kedungombo, Jawa Tengah. Karena orangtuanya tidak mampu,
ia terpaksa melanjutkan sekolah di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah
di desanya.
Namun, dalam soal kemampuan Fina boleh dipertandingkan dengan siswa
sekolah-sekolah mahal yang kini menjamur di Jakarta.
MESKI bersekolah di desa dan menumpang di rumah kepala sekolahnya, bagi
Fina internet bukan hal yang asing. Ia bisa mengakses internet
kapan saja
. Setiap pagi berlatih bahasa Inggris dalam
English Morning. Ia pernah menjuarai penulisan artikel on line di
kotanya. Ia juga berbakat dalam olah vokal meski ia mengatakan tidak
ingin menjadi seorang penyanyi. “Kalau menjadi penyanyi, pekerjaanku
hanya menyanyi. Padahal,cita-citaku banyak. Aku ingin jadi presenter,
aku ingin jadi penulis, pengarang lagu, ilmuwan, dan banyak lagi….
Aku juga ingin berkeliling dunia,”
kata Fina.
SMP Alternatif Qaryah Thayyibah resmi terdaftar sebagai
SMP Terbuka, sekolah yang sering diasosiasikan sebagai sekolah untuk
menampung orang-orang miskin agar bisa mengikuti program wajib belajar
sembilan tahun. Namun, siswa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sangat
mencintai dan bangga dengan sekolahnya.
Pukul 06.00 sekolah sudah mulai dan baru berakhir pada pukul 13.30.
Akan tetapi, jam sekolah itu terasa sangat pendek bagi murid-murid
sekolah tersebut sehingga setelah makan siang mereka biasanya kembali
lagi ke sekolah. Mereka belajar sambil bermain di sekolahnya sampai
malam, bahkan tak jarang mereka menginap di sekolah.
Murid-murid SMP Qaryah Thayyibah memang sangat menikmati sekolahnya.
Bersekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan. Guru bukanlah penguasa
otoriter di kelas, tetapi teman belajar. Mereka bebas berbicara dengan
gurunya dalam bahasa Jawa ngoko, strata bahasa yang hanya pantas untuk
berbicara informal dengan kawan akrab.
Di kelas mereka juga sangat bebas. Mereka bisa asyik mengerjakan
soal-soal matematika dengan bersenda gurau, ada yang mengerjakan soal
sambil bersenandung, yang lain bermain monopoli. Suasana bermain itu
bahkan di taman kanak-kanak pun kini makin langka karena mereka dipaksa
oleh gurunya untuk membaca dan menulis.
SMP Qaryah Thayyibah lahir dari keprihatinan Bahruddin melihat
pendidikan di Tanah Air yang makin bobrok dan semakin mahal. Pada
pertengahan tahun 2003 anak pertamanya, Hilmy, akan masuk SMP. Hilmy
telah mendapatkan tempat di salah satu SMP favorit di Salatiga.
Namun, Bahruddin terusik dengan anak-anak petani lainnya yang tidak
mampu membayar uang masuk SMP negeri yang saat itu telah mencapai Rp
750.000, uang sekolah rata-rata Rp 35.000 per bulan, belum lagi uang
seragam dan uang buku yang jumlahnya mencapai ratusan ribu rupiah.
Saya mungkin mampu, tetapi bagaimana dengan orang-orang lain?”
tuturnya.
Bahruddin yang menjadi ketua rukun wilayah di kampungnya kemudian
berinisiatif mengumpulkan warganya menawarkan gagasan, bagaimana jika
mereka membuat sekolah sendiri dengan mendirikan SMP alternatif. Dari
30 tetangga yang dikumpulkan, 12 orang berani memasukkan anaknya ke
sekolah coba-coba itu. Untuk menunjukkan keseriusannya, Bahruddin juga
memasukkan Hilmy ke sekolah yang diangan-angankannya.
Saya ingin membuat sekolah yang murah, tetapi berkualitas. Saya tidak
berpikir saya akan bisa melahirkan anak yang hebat-hebat. Yang penting
mereka bisa bersekolah,
” kata Bahruddin.
Bahruddin mengadopsi kurikulum SMP reguler di sekolahnya. Ia menyatakan
tidak sanggup menyusun kurikulum sendiri. Lagi pula sekolah akan diakui
sebagai sekolah berkualitas jika bisa memperoleh nilai yang baik dan
mendapatkan ijazah yang diakui pemerintah. Karena itulah ia memilih
format SMP Terbuka. Akan tetapi, ia mengubah kecenderungan SMP Terbuka
sekadar sebagai lembaga untuk membagi-bagi ijazah dengan mengelola
pendidikannya secara serius.
Sekolah itu menempati dua ruangan di rumah Bahruddin, yang sebelumnya
digunakan untuk Sekretariat Organisasi Tani Qaryah Thayyibah. Jumlah
guru yang mengajar sembilan orang, semuanya lulusan institut agama
Islam negeri dan sebagian besar di antaranya para aktivis petani.
Guru pelajaran Matematika-nya seorang lulusan SMA yang kini mondok di
pesantren. Akses internet gratis 24 jam diperoleh dari seorang
pengusaha internet di Salatiga yang tertarik dengan gagasan Bahruddin.
Dengan modal seadanya sekolah itu berjalan.
Ternyata pengakuan terhadap keberadaan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah
tidak perlu waktu lama. Nilai rata- rata ulangan murid SMP Qaryah
Thayyibah jauh lebih baik daripada nilai rata-rata sekolah induknya,
terutama untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.
Sekolah itu juga tampil meyakinkan, mengimbangi sekolah-sekolah negeri
dalam lomba cerdas cermat penguasaan materi pelajaran di Salatiga.
Sekolah itu juga mewakili Salatiga dalam lomba motivasi belajar mandiri
di tingkat provinsi, dikirim mewakili Salatiga untuk hadir dalam
Konvensi Lingkungan Hidup Pemuda Asia Pasifik di Surabaya. Pada tes
kenaikan kelas satu, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Inggris
siswa Qaryah Thayyibah mencapai 8,86.
SMP Alternatif Qaryah Thayyibah juga maju dalam berkesenian. Di bawah
bimbingan guru musik, Soedjono, anak-anak sekolah bergabung dalam grup
musik Suara Lintang. Kebolehan anak-anak itu dalam menyanyikan lagu
mars dan himne sekolah dalam versi bahasa Inggris dan Indonesia bisa
didengarkan ketika membuka alamat situs sekolah
www.pendidikansalatiga.net/ qaryah. Grup musik anak-anak desa kecil itu
telah mendokumentasikan lagu tradisional anak dalam kaset, MP3, maupun
video CD album Tembang Dolanan Tempo Doeloe yang diproduksi sekaligus
untuk pencarian dana. Seluruh siswa bisa bermain gitar, yang menjadi
keterampilan wajib di sekolah itu.
Sulit dibayangkan anak- anak petani sederhana itu masing-masing
memiliki sebuah komputer, gitar, sepasang kamus bahasa
Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris, satu paket pelajaran Bahasa
Inggris BBC di rumahnya. Semua itu tidak digratiskan.
Anak-anak memiliki semua itu dengan mengelola uang saku bersama-sama
sebesar Rp3.000 yang diterima anak dari orangtuanya setiap hari.
Uang sebesar Rp1.000 dipergunakan untuk mengangsur pembelian komputer.
Untuk sarapan pagi, minum susu, madu, dan makanan kecil tiap hari
Rp 1.000, sedangkan Rp 1.000 lainnya untuk ditabung di sekolah.
Tabungan sekolah itu dikembalikan untuk keperluan murid dalam bentuk
gitar, kamus, dan lain-lainnya.
Tidak mengherankan jika anak-anak dan orangtua mereka bangga dengan
sekolah itu. Betapa tidak, di sekolah yang berdekatan dengan rumah di
sebuah desa kecil mereka mendapatkan banyak hal yang tidak diperoleh di
sekolah-sekolah yang dikelola dengan logika dagang.
Ismanto (43) menceritakan, anaknya sempat down saat mendaftar SLTP di
Salatiga dua tahun lalu. Uang masuknya Rp 200.000, belum termasuk buku
dan seragam. Tidak ada seorang murid pun ke sekolah dengan berjalan
kaki selain anaknya, Emi Zubaiti (13). Kini Emi menjadi seorang anak
yang pandai dalam berbagai mata pelajaran, pintar bernyanyi, dan
percaya diri. Ia tidak pernah membayangkan bisa menyekolahkan Emi, anak
pasangan tukang reparasi sofa dan bakul jamu gendong, mendapat sekolah
yang baik. Bahkan Ismanto ikut menikmati komputer yang dikredit dari
uang saku anaknya. Dibimbing anaknya, sekarang Ismanto mulai belajar
komputer. “Tidak pernah terpikir, saya bisa membelikan komputer. Kini
saya malah bisa ikut menikmati,” kata Ismanto.
(P Bambang Wisudo/ Rien Kuntari)

Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/23/UTAMA/1636607.htm http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/23/humaniora/1636659.htm http://blog.adypermadi.com/

Tidak ada komentar: